Makalah Akhlak Tasawuf - Ukarab Baik dan Buruk



UKURAN BAIK DAN BURUK


MATA KULIAH :
AKHLAK TASAWUF

DOSEN PENGASUH:
AHMAD S.Ag, M. Fil. I

OLEH:
ABDURRAHMAN AL-BASHIRY (1501421828)


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA BANJARMASIN
2015
 

PENDAHULUAN
            Kita sekalian memberi hukum kepada beberapa perbuatan bahwa “ia baik atau buruk, benar atau salah, haq atau bathil”. Hukum ini merata diantara manusia, baik dalam kedudukan yang tinggi maupun yang rendah, baik dalam perbuatan yang besar maupun yang kecil, diucapkan oleh ahli hukum di dalam soal undang-undang atau oleh ahli perusahaan pada perusahaan mereka, bahkan oleh anak-anak dalam permainan mereka, maka apakah arti nya “baik dan buruk?” dan dengan ukuran apakah kita mengukur perbuatan yang akan kita beri hukum “baik atau buruk”.[1]
            Baik dan buruk adalah persoalan yang pertama kali muncul di kalangan para filsuf Yunani. Persoalan ini pula yang menjadi pembicaraan utama dalam kajian ilmu akhlak dan ilmu estetika. Bahkan, setiap filsuf hampir membicarakan persoalan ini, terutama dari kalangan Marxisme[2]. Di kalangan para teolog, persoalan ini memunculkan perdebatan yang sengit di antara aliran-aliran. Mu’tazilah umpamanya, berpendapat bahwa akal manusia mampu membedakan baik dan buruk. Ini berbeda dengan aliran Ahlus Sunnah wa Jamaah, di antaranya Asy’ariyyah. Mereka berpendapat bahwa penetuan baik dan buruk muthlaq merupakan wahyu, bukan domain akal.[3]
Rumusan Masalah:
1.      Apakah asas dari baik dan buruk itu?
2.      Apakah pengerian baik dan buruk?
3.      Apakah penyebab perbedaan diantara para pemikir tentang masalah baik dan buruk ini?
4.      Dengan cara apakah kita dapat mengukur baik dan buruk suatu perbuatan?
5.      Bagaimana contoh baik dan buruk?
PEMBAHASAN
            Sebelum kita membahas “baik dan buruk” maka kita harus menetahui dasar dari kedua itu, yaitu Akhlaq.
A.    Pengertian Akhlak, Etika, Moral dan Kesusilaan
1.      Pengertian
Kata Akhlaq berasal dari bahasa Arab Khuluq yang jamaknya Akhlaq. Menurut bahasa, akhlaq adalah perangai, tabiat, dan Agama. Kata tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan khalaq yang artinya “kejadian”, serta erat hubungannya dengan kata khaliq yang berarti “Pencipta” dan makhluq yang berarti “yang diciptakaan”.
Berkaitan dengan pengertian khuluq yang berarti agama, Al-Fairuzzabadi berkata, “Ketahuilah, agama pada dasarnya adalah akhlak. Barang siapa memiliki akhlak mulia, kualitas agamanyapun mulia. Agama diletakkan di atas empat landasan akhlak utama, yaitu kesabaran, memelihara diri, keberanian, dan keadilan.”[4]
Secara sempit, pengertian akhlaq dapat diartikan dengan:
a.    Kumpulan kaidah untuk menempuh jalan yang baik;
b.    Jalan yang sesuai untuk menuju akhlaq;
c.    Pandangan akal tentang kebaikan dan keburukan.[5]
Selain istilah akhlak, lazim juga dipergunakan istilah “etika”. Perkataan ini berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti adat kebiasaan. Ia membicarakan kebiasaan (perbuatan), tetapi bukan menurut tata-adat, melainkan tata-adab, yaitu berdasarkan intisari atau sifat dasar manusia: baik buruk. Jadi, etika adalah teori tentang perbuatan manusia dilihat dari baik buruknya.[6]
Di samping dikenal dengan istilah etika, juga dikenal dengan istilah moral. Perkataan “moral” berasal dari bahasa latin mores, kata jama’ dari mos yang berarti adat kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia, moral diterjemahkan sebagai susila. Moral artinya sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, yang baik dan wajar, sesuai dengan ukuran tindakan yang oleh umum diterima, meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu.[7]
2.      Persamaan dan perbedaan
Ada beberapa persamaan antara akhlak, etika dan moral yaitu sebagai berikut.
Pertama, akhlak, etika, dan moral mengacacu pada ajaran atau gambaran tentang perbuatan, tingkah laku, sifat, dan perangai yang baik
Kedua, akhlak, etika, dan moral merupakan prinsip atau aturan hidup manusia untuk mengukur martabat dan harkat kemanusiaannya. Semakin tinggi kualitas akhlak, etika, moral, dan susila, seseorang atau sekelompok orang, semaikn tinggi kualitas kemanusiaannya. Sebaliknya, semakin rendah kualitas akhlak, etika, moral, dan susila seseorang atau sekelompok orang, maka semakin rendah pula kualitas kemanusiaannya.
Ketiga, akhlak, etika, dan moral seseorang atau sekelompok orang tidak semata-mata merupakan faktor keturunan yang bersifat tetap, stastis, dan konstan, tetapi merupakan potensi positif yang dimiliki setiap orang. Untuk pengembangan dan aktualisasi potensi positif tersebut diperlukan pendidikan, pembiasaan, dan keteladanan, serta dukungan lingkungan, mulai lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat secara terus-menerus dengan tingkat konsistensi yang tinggi.[8]
Selain persamaan antara akhlak, etika, dan moral, sebagaimana diuraikan di atas, terdapat pula beberapa segi perbedaan yang menjadi ciri khas masing-masing. Berikut ini adalah uraian mengenai segi-segi perbedaan tersebut.
Pertama, akhlak merupakan istilah yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Nilai-nilai yang menentukan baik dan buruk, layak atau tidak sesuatu perbuatan, kelakuan, sifat, dan perangai dalam akhlak bersifat universal dan bersumber dari ajaran Allah SWT. Sementara itu etika merupakan filsafat nilai, pengetahuan tentang nilai-nilai, dan kesusilaan tentang baik dan buruk. Jadi, etika bersumber dari pemikiran yang mendalam dalam renungan filosofis, yang pada intinya bersumber dari akal sehat dan hati nurani. Etika bersifat temprorer, sangat bergantung pada aliran filosofis yang menjadi pilihan orang-orang yang menganutnya.
Dengan katanya lain, perbedaan di antara ketiga istilah itu adalah:
a.       Akhlak tolak ukurnya adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah;
b.      Etika tolak ukurnya adalah pikiran atau akal;
c.       Moral tolak ukurnya adalah norma yang hidup dalam masyarakat.[9]
B.     Baik dan Buruk
1.      Pengertian
Baik dan buruk merupakan sifat yang selamanya akan menempel pada suatu benda, terlepas apakah benda itu mati ataupun hidup. Setiap ada pengertian baik maka akan ada pula pengertain buruk. Dalam mendefinisikan baik dan buruk, setiap orang pasti berbeda. Sebab, sumber penentu baik dan buruk, yaitu Tuhan dan Manusia; wahyu dan akal; agama dan filsafat. Berikut ini adalah beberapa perbedaan tersebut.
a.       Ali bin Abi Thalib (w. 40 H): Kebaikan adalah menjauhkan diri dari larangan, mencari sesuatu yang halal, dan memberikan kelonggaran kepada keluarga.[10]
b.      Ibnu Maskawiah (941-1030 M): Kebaikan adalah yang dihasilkan oleh manusia melalui kehendaknya yang tinggi. Keburukan adalah sesuatu yang diperlambat dalam mencapai kebaikan.[11]
c.       Muhammad Abduh (1849-1905): kebaikan adalah apa yang lebih kekal faedahnya sekalipun menimbulkan rasa sakit dalam melakukannya.[12]
d.      Toshihiku Izutsu (1914-1993): Dalam Al-Qur’an tidak ada sistem konsep baik-buruk abstrak yang dikembangkan sepenuhnya. Rumusan bahasa moral level sekunder ini merupakan karya dari para ahli hukum pada masa paska-Quranik. Kosakata Al-Qur’an mengandung sekian banyak kata yang dapat, dan biasanya, diterjemahkan dengan “baik” dan “buruk" yang fungsi utamanya evaluatif, bukan deskriptif.[13]
e.       Louis Ma’luf: Baik, lawan buruk, adalah menggapai kesempurnaan sesuatu. Buruk lawan baik, adalah kata yang menunjukkan sesuatu yang tercela atau dosa.[14]
f.       Poerwandarminta (1904-1958): Baik: (1) elok, patut, teratur; (2) berguna, manjur; (3) tidak jahat; (4) sembuh, pulih; (5) selamat (tak kurang satupun). Buruk: (1) rusak atau busuk (2) jahat, jelek, kurang baik, tidak menyenangkan.[15]
g.      Abd Al-Jabbar[16]: Kebaikan dan keburukan suatu perbuatan dapat diketahui secara estetis, sama caranya seperti sebuah gambar dikenal indah atau jelek.[17]
Meskipun secara redaksional berbeda-beda, secara subtantif definisi baik dan buruk mengandung keseragaman. Baik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan yang luhur, bermartabat, menyenangkan, dan disukai manusia. Adapan buruk adalah sesuatu yang berhubungan dengan sesuatu yang rendah, hina, menyusahkan, dan dibenci manusia.
2.      Metode Berpikir
Di atas kita telah mengetahui beberapa perbedaan pendapat tentang baik dan buruk, perbedaan pendapat ini menunjukkan dua macam metode berfikir dalam kalangan para teolog, yaitu kerangka berfikir rasional dan metode berfikir tradisional. Metode berfikir rasional memiliki prinsip-prinsip berikut ini.
a.       Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti zhanni (teks yang boleh mengandung arti lain, selain dari arti harfiyahnya).
b.      Memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta memberikan daya yang kuat pada akal.
Adapun metode berpikir tradisional memilik prinsip-prinsip berikut ini.
a.       Hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas disebut dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist, yaitu ayat yang qath’i (teks yang tidak diinterpretasi lagi pada arti lain, selain arti harfiyahnya)
b.      Tidak memberikan kebebasan kepada manusia dalam berkehendak dan berbuat.
c.       Memberikan daya yang kecil pada akal.[18]
3.      Ukuran Baik dan Buruk
Jika kita ingin mengetahui panjang suatu benda, maka kita memakai ukuran-ukuran tertentu, misalnya kita menggunakan ukuran meter untuk mengetahui panjang benda tersebut. Demikian juga apabila kita ingin mengetahui timbangan sesuatu. Maka dengan ukuran dan timbangan apakah kita dapat mengetahui baik dan buruk?.[19]
Setiap gerak dan langkah untuk mencari nilai, sudah tentu manusia memilik suatu standar untuk mengukur  sesutu yang baik dan buruk, kendati ukuran tersebut berlainan antara yang satu dengan yang lainnya.[20] Kebanyakan manusia berselisih dalam pandangannya mengenai sesuatu, diantara mereka ada yang melihatnya baik dan diantara mereka ada yang melihatnya buruk, bahkan ada seorang yang melihatnya baik dalam waktu ini, lalu melihatnya buruk pada waktu yang lain.[21]
Karena baik dan buruk merupakan keadaan yang melekat pada setiap aktivitas manusia, maka persoalan baik dan buruk ini adalah persoalan manusia. Oleh karena itulah banyak orang yang tertarik membicarakaanya dan berupaya merumuskan pengertian dan indikator yang digunakan. Rumusan itu beragam sehingga muncul beragam pandangan dalam memberi penilaian terhadap suatu perbuatan. Karenanya, tidak heran jika suatu perbuatan dinilai baik oleh seseorang, dan oleh orang lain dinilai buruk.[22] Maka dengan ukuran apakah, sehingga dengan suatu pandangan, kita dapat memberikan suatu hukum kepada suatu dengan baik dan buruk?. Untuk menjawab soal ini, perlu kami kemukakan ukura-ukuran yang terkanal di dalam kalangan ahli pengetahuan.[23]
a.      Adat Kebiasaan.
Setiap kelompok masyarakat memiliki adat kebiasaan yang diwarisis oleh para pendahulunya. Oleh kelompok tersebut, adat digunakan sebagai tolak ukur menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan. Sesuatu perbuatan dinilai baik jika sejalan dan sesuai dengan jiwa adat dan sebaiknya dinilai buruk jika tidak sejalan dengan adat setempat. Tentu saja ukuran ini memiliki kelemahan, sebab adat itu sifatnya lokal dan ini menimbulkan penilaian yang bersifat lokal[24]
b.      Naturalisme.
Naturalisme ialah aliran filsafat yang menerima “natura” sebagai keseluruhan realitas. Menurut aliran ini, ukuran biak dan buruk adalah apakah sesuatu itu sesuai dengan fitrah (naluri) manusia atau tidak baik fitrah lahir maupun batin. Apabila sesuai dengan fitrah disebut baik, dan apabila tidak sesuai dianggap buruk. Aliran ini menganggap bahwa kebahagian yang menjadi tujuan setiap manusia diapat dengan jalan memnuhi panggilan natur atau kejadian manusia itu sendiri. Itulah sebabnya aliran ini disebut Naturslidme.
Pola pemikiran pada aliran ini menyangkut baik dan buruk berdasarkan pada adanya kelangsungan hidup di dunia ini. Seluruh makhluk yang diciptakan di dunia ini hanya memiliki satu tujuan, yaitu, memenuhi suatu panggilan naturnya ke arah kesempurnaan yang abadi.
Ringkasnya, tolak ukur yang dipergunakan aliran Naturalisme mengenai kebaikan dan keburukan ialah apakah sesuatu itu sesuai dengan fitrahnya atau tidak. Jika sesuai dengan fitrah, sesuatu itu baik, dan begitu pula sebaliknya[25].
c.       Eudeamonisme.
Eudaemonisme atau Eudaimonia berasal dari bahasa Yunani Kuno eudemonia yang berarti “bahagia” atau “kebahgian yang lebih tertuju kepada rasa bahagia”.  Eudaemonia merupakan konsep sentral dari ajaran etika Yunani Kuno. Beberapa filsuf meyakini bahwa Eudaemonia mengajarkan tujuan tertinggi yang hendak dicapai manusia.
Aliran ini ditemukan oleh Aristoteles (384-332 SM). Dalam bukunya, Nicomedian Ethics, ia mengemukakan bahwa dalam setiap kegiatannya manusia mengejar suatu tujuan, sedangkan tujuan tertinggi atau terakhir manusia adalah kebahagian (eudaimonia). Akan tetapi Aristoteles beranggapan bahwa tidak semua hal bisa diterima sebagai kebahagiaan. Ada yang beranggapan kesenangan sebagai kebahagian, dan ada pula yang mengaggap ketenaran adalah kebahagiaan.
Eudaemonisme ada dua macam, yaitu yang bersifat pribadi dan sosial. Eudaemonisme yang bersifat pribadi hanya berhubungan kepada kebahagiaan dan kesenangan pribadi, sedangkan Eudaemonisme yang bersifat sosial memiliki sasaran, yaitu kebahagian dan kesenangan kelompok. Eudaemonisme sosial terutama berhubungan dengan kemungkinan terbesar terselenggaranya kesejahtraan, pengaruh dan kekuasaan suatu kelompok tertentu beserta anggota-anggotanya.[26]
d.      Pragmatisme.
Istialah “pragmatisme” sering didengar, terutama dalam konteks pergaulan modern saat ini. Pragmatisme merupakan gerakan filsafat Amerika yang terkenal selama abad ke-20 yang dipelopori oleh Charles Sander Peirce, William James, dan Jhon Dewey. Filsafat ini sangat kritis terhadap aliran Materialisme, Idealisme, Realisme, dan Rasionalisme. Bagi Pragmatisme, filsafat lebih mempunyai nilai manfaat bagi hidup manusia kalau dapat menemukan apa yang berguna secara praktis.
Pragmatisme, dalam bentuknya yang umum, adalah yang dipengaruhi kepentingan situasi dan kondisi yang ada. Dengan demikian, pemikiran Pragmatisme akan berubah setiap saat. Adapun yang tidak berubah adalah mempertahankan kepentingan itu sendiri. Dengan demikian, Pragmatisme adalah pemikiran yang tidak teratur sebab kepentingan individu itu tidak teratur.
Aliran ini menitikberatkan pada hal-hal yang yang berguna dari diri sendiri, baik yang bersifat moral maupun material. Titik beratnya adalah pengalaman. Oleh karena itu, penganut faham ini tidak mengenal istilah kebenaran, sebab kebenaran besifat abstrak dan tidak akan diperoleh dalam dunia empiris.[27]
e.       Hedonisme.
Hedonis berasal dari bahasa Yunani hedone yang berarti “kesenangan” atau “kenikmatan”. Dalam filsafat Yunani, Hedonesmi ditemukan oleh Aristippos dari Kyrene (sekitar 433-355 SM), seorang murid Socrates. Socrates bertanya tentang tujuan terakhir bagi kehidupan manusia, atau apa yang sungguh-sungguh baik bagi manusia, tetapi ia sendiri tidak memberikan jawaban yang jelas atas pertanyaan tersebut, Aristoppos akhirnya menjawab pertanyaan itu, “Yang sungguh-sungguh baik bagi manusia adalah kesenagan....”
Berikut ini beberapa pandangan Hedonisme:
1)      Setiap perbuatan dikatakan susila apabila perbuatan tersebut mengandung kelezatan atau kenikmatan;
2)      Kelezatan dan kenikmatan merupakan suatu tolak ukur dalam menetukan baik-buruknya suatu perbuatan.[28]
f.       Utilitarisme.
Tokoh aliran ini adalah Jhon Stuart Mill (1806-1873). Bertolak dengan namanya, Utilitarisme dituduh menyamakan kebaikan moral dengan manfaat. Aliran ini pun dianggap sebagai “etika sukses” yaitu etika yang menilai kebaikan orang dari apakah perbuatannya menghasilkan sesuatu yang baik atau tidak.

Pokok-pokok pandangannya adalah sebagaai berikut:
1)      Baik buruknya suatu perbuatan atas dasar besar kecilnya manfaat yang ditimbulkan bagi manusia.
2)      Kebaikan yang tertinggi (summun bonum) adalah utility (manfaat).
3)      Segala tingkah laku manusia selalu diarahkan pada pekerjaan yang membuahkan manfaat yang sebesar-besarnya.
4)      Tujuannya adalah kebahagian (happines) orang banyak.
Utilitarisme disebut universal karena yang menjadi norma moral, bukanlah akibat-akibat baik bagi si pelaku itu sendiri, melainkan akibat-akibat baik di seluruh dunia. Utilitarisme menuntut perhatian terhadap kepentingan dari semua orang yang terpengaruh oleh tindakan itu, termasuk kepentingan si pelaku itu sendiri.[29]
Aliran ini mengukur suatu perbuatan dengan asas guna, apabila
perbuatan itu mengandung manfaat dan guna maka dianggap baik, dan sebaliknya, apabila tidak ada manfaat dan kegunaannya maka dipandang buruk.[30]
g.      Vitalisme.
Aliran ini berprinsip baik atau buruknya suatu perbuatan tergantung kepada ada tidaknya daya hidup yang membuat pelakunya disegani dan ditakuti, atau tergantung kepada daya yang mendukung kelangsungan hidup.[31]
Tokoh utama dari aliran ini adalah Friedrich Niettsche (1844-1990) yang filsafatnya menonjolkan eksistensi manusia baru sebagai “Ubermensh” (manusia sempurna) yang berkemanusaian keras menempuh hidup baru. Filsafatnya bersifat atheistis, tidak percaya kepada Tuhan dan sebagai konsekonsi pendirinya dan perjuangannya menentang gereja di Eropa.
Aliran ini merupakan bantahan terhadap aliran Naturalisme, sebab menurut paham Vatilisme, ukuran baik dan buruk itu bukan alam, tetapi “vitae” atau hidup (yang diperlukan untuk hidup).
Beberapa pandangan aliran Vitalisme tentang baik dan buruk adalah sebagai berikut:
1)      Ukuran baik dan buruk adalah daya kekuatan hidup. Manusia dikatakan baik apabila memiliki daya kekuatan hidup yang kuat sehingga memaksa manusia yang lemah untuk mengikutinya.
2)      Keburukan adalah apabila manusia tidak memiliki daya kemampuan kuat yang memaksa manusia untuk mengikuti pola kehidupan orang lain.[32]
h.      Idealisme.
Tokoh utama aliran ini adalah Immanuel Kant (1725-1804). Pokok-pokok pandangannya adalah:
1)      Wujud yang paling dalam dari kenyataan (hakikat) adalah kerohanian. Seseorang berbuat baik pada prinsip prinsipnya bukan karena dianjurkan orang lain, melainkan atas dasar kemauan diri sendiri atau raasa keawajiban. Sekalipun diancam dan dicela orang lain, perbuatan baik itu dilakukan karena adanya rasa kewajiban yang terdapat dalam nurani manusia.
2)      Faktor yang paling penting memengaruhi manusia adalah “kemauan” yang melahirkan tindakan dan konkret. Adapun pokoknya di sini adalah “kemauan baik”.
3)      Kemauan yang baik itulah dihubangkan dengan suatu hak yang menyempurnakannya, yaitu “rasa kewajiban”.[33]
i.        Eksistensialisme.
Metode yang digunakan para pemikir Eksistensialisis disebut motede eksistiansialis. Metode ini sebenarnya bermacam-macam, tetapi pada dasarnya, metode ini dipengaruhi Kierkegaard (1813-1855), bapak Eksistensialisme. Pemikan dan metodenya merupakan reaksi, terutama pada rasionalisme idealitas Hegal yang dianggap sudah mati dan tidak berguna lagi.
Etika Eksistensialisme berpandangan bahwa eksistensi atas dunia selalu terkait pada keputusan-keputusan individu. Artinya, andaikan individu tidak mengambil suatu keputusan, pastilah tidak ada yang terjadi. Individu sangat menenukan terhadap sesuatu yang baik, terutama bagi kepentingan dirinya. Ungkapan dari aliran ini ialah Truth is Subjectivity atau kebenaran terletak kepada kepribadiannya maka disebutlah baik, dan sebailknya apabila keputusan itu tidak baik atas pribadinya maka itu dianggap buruk.[34]
j.        Deontologi.
Istilah “deontolgi” berasal dar kata Yunani Deon yang berarti kewajiban. Oleh karena itu, etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Menurut aliran ini, suatu tindakan dianggap baik bukan berdasarkan tujuan ataupun tampak perbuatan itu, tetapi berdasarkan tindakan itu sendiri. Dengan kata lain, perbuatan tersebut bernilai moral karena tindakan itu dilaksanakan berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan, terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan itu. Salah satu tokoh terkenal dari teori ini adalah Immanuel Kant (1734-1804), salah seorang filsuf Jerman abad ke-18.[35]
k.      Teologis.
Aliran ini terbagi menjadi dua, yaitu:
1)      Rasionalism.
Teologi ini dipelopori oleh aliran Mu’tazilah yang mengatakan bahwa suatu perbuatan dipandang baik jika baik menurut rasio sehat, dan dipandang buruk jika tidak sesuai dengan rasio.
2)      Tradisionalism.
Teologi ini diangkat oleh al-Asy’ari yang mengatakan semua perbuatan menjadi baik jika sesuai dengan ajaran Allah (Al-Qur;an dan As-Sunnah), dan menjadi buruk jika bertentangan dengan ajaran Allah.
Paham teologi inilah yang lebih mendekati kepada kebenaran sebagai ukuran menetapkan suatu perbuatan baik atau tidak bila dikaitkan dengan kontek akhlak.[36]
4.      Contoh baik dan buruk.
Sebagaimana kami kutip dari kitab “Ihya Ulumuddin” bahwasanya contoh akhlak yang baik sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, bahwa Rasulullah SAW tidak pernah mencela seseorangpun dari pada orang-orang mukmin, dan tidak pernah melaknat istri-istrinya dan para pembantu-pembantunya, dan apabila ada orang yang meminta pertolongan atau mengundang beliau maka beliau dengan segera memenuhi panggilan tersebut. Dan apabila ada dua perkara yang sama baiknya, maka beliau akan memilihkan perkara yang lebih mudah. Dan apabila bertemu dengan seseorang maka beliau akan mengucapkan salam kepadanya terlebih dahulu dan menyalaminya, dan beliau tidak akan melepas tangannya sebelum oang tersebut yang melepasnya terlebih dahulu. Dan sesunggahnya beliau orang yang paling lambat marah, paling cepat ridha, paling sayang kepada sesama, paling baik terhadap yang lainnya, serta paling bermanfaat terhadap seluruh manusia.[37] Karena Nabi SAW telah bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ. ﴿رواه أحمد والحاكم والبيهقي﴾[38]
Adapun contoh dari akhlak yang buruk seperti yang dijelaskan dalam kitab Akhlak Al-Ulama ialah banyak berduka cita dalam kehidupannya, takut hidup dalam kefakiran, tidak bersabar apabila ditimpa musibah, berat lidahnya untuk berzikir dan ringan mengucapkan perkataan yang sia-sia, tidak bersyukur dengan apa yang telah diberikan oleh Allah SWT kepadanya, selalu sibuk dengan keduniaan di dalam hatinya, susah untuk mensedekahkan sedikit dari hartanya, dan apabila ia sakit, maka ia akan segera bertaubat dan menampakkan penyesalan serta berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya, akan tetapi apabila telah sembuh maka dia pun mengingkari janjinya tersebut.[39]
KESIMPULAN
 Setelah kita baca makalalah di atas maka dapat kita ketahui bahwasanya Akhlak, Etika dan Moral adalah suatu yang harus kita perhatikan dalam kehidupan kita di dunia ini, dan bahwasanya baik dan buruk itu tidak akan pernah lepas dari kehidupan kita sehari-hari, kapanpun, dimanapun, dan waktu apapun itu.
Baik dan buruk dapat kita ukur sebagaimana kita ingin mengukur suatu benda, Cuma alat ukur diantara mereka saja yang berbeda, untuk mengukur baik dan buruk kita dapat melihat dari segi adat istiadat pada suatu daerah, juga bisa diukur dengan faham Naturalisme yang mengukur baik atau buruk dengan fitrah (naluri) manusia, dan bisa juga dengan faham Hedonisme, Eudaemonisme, Pragmatisme, Vitalisme, Idealisme, Eksistensialisme, Utilitarisme, Deontologi, serta Teologis dan lain sebagainya.  Dan dari itu semua bahwa sesuatu yang disebut baik itu apabila memberikan kenyamanan dan ketenangan, serta manfaat bagi diri sendiri dan orang  lain, sedangkan sesuatu yang buruk adalah sebaliknya.


DAFTAR PUSAKA
Al-Ajra, Abu Bakar Muhammad. Akhlaq Al-Ulama. Majlis Al-Banjary Li-t-Tafaqquh Fi-d-Diin, 1996.
Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya Ulumuddin Jilid 2. Dar Al-Kotob Al-Alamyah, Beirut. 2012.
Amin, Ahmad. Etika (Ilmu Akhlaq). PT Bulan Bintang, Jakarta, 1995.
Anwar, Rosihon.  Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Djatnika, Rachmat. Sistem Ethika Islami (Akhlak Mulia). Pustaka Panjimas, Jakarta. 1992.
Fakhry, Majid. Etika Dalam Islam. Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Pusat Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1996.
Hasan Muhammad Ayyub. Tabsith Al-Aqaid Ad-Diniyyah. Dar An-Nadwah Al-Jadidah, Bairut. 1983.
Mustofa, Ahmad. Akhlak Tasawuf. CV Pustaka Setia, Bandung, 2010.
Rahmaniyah, Istighfaratur. Pendidikan Etika. UIN-Maliki Press, Malang. 2010.
Ritonga, A. Rahman. Akhlak Merekat Hubungan Dengan Sesama Manusia. Amelia Surabaya, 2005.



[1] Prof. Dr. Ahmad Amin, Etika Ilmu Akhlak.  Hal 2.
[2] Marxisme adalah sebuah faham yang berdasarkan pandangan-pandangan Karl Marx.
[3] Prof. Dr Rosihon Anwar, M.Ag. Akhlaq Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hal 69.
[4] Prof. Dr Rosihon Anwar, M.Ag. Akhlaq Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hal 11-12.
[5] M. Syatori, Ilmu Akhlaq, Bandung: Lisan, 1987, hal 1.
[6] Ja’cup, op.cit., hal 12-13; Mudhor Achmad, Etika dalam Islam, Surabaya: Al-Ikhlas,t.t., hal 15.
[7] Prof. Dr Rosihon Anwar, M.Ag. Akhlaq Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hal 17.
[8] Prof. Dr Rosihon Anwar, M.Ag. Akhlaq Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hal 19.
[9] Prof. Dr Rosihon Anwar, M.Ag. Akhlaq Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hal 19-20.
[10] M. Syatori, Ilmu Akhlak, Bandung: Lisan, 1987, hal 38-39.
[11] Ibid., hal 38.
[12] Ibid., hal 39.
[13] Toshihiko Izutsu, Konsep-konsep Etika Religius Dalam Al-Qur’an, Terj. Agus Fahri Husein, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003, hal 245.
[14] Lois Ma’luf, Al-Munjid Fi Al-Lugah Wa Al-A’lam, Bairut: Al-Maktabah Asy-Syarqiyyah, 2005, hal 201.
[15] Prof. Dr Rosihon Anwar, M.Ag. Akhlaq Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hal 70-71.
[16] Abd Al-Jabbar adalah seorang penulis bermazhab Mu’tazilah.
[17] Majid Fakhry, Etika dalam Islam, Penerbit Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Pusat Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1996, hal 29.
[18] Prof. Dr Rosihon Anwar, M.Ag. Akhlaq Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hal 69-70.
[19] Prof. Dr. Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), PT Bulan Bintang, Jakarta, 1995 hal 86-87.
[20] Prof. Dr Rosihon Anwar, M.Ag. Akhlaq Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hal 72.
[21] Prof. Dr Rosihon Anwar, M.Ag. Akhlaq Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hal 87.
[22] Prof. Dr. H. A. Rahman Ritonga, MA. Akhlak Merekat Hubungan Dengan Sesama Manusia, Penerbit Amelia Surabaya, 2005, hal 10.
[23] Prof. Dr. Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), PT Bulan Bintang, Jakarta, 1995 hal 87.
[24] Prof. Dr. H. A. Rahman Ritonga, MA. Akhlak Merekat Hubungan Dengan Sesama Manusia, Penerbit Amelia Surabaya, 2005, hal 10.
[25] Prof. Dr Rosihon Anwar, M.Ag. Akhlaq Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hal 72-73
[26] Prof. Dr Rosihon Anwar, M.Ag. Akhlaq Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hal 74-75
[27] Prof. Dr Rosihon Anwar, M.Ag. Akhlaq Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hal 75-76
[28] Prof. Dr Rosihon Anwar, M.Ag. Akhlaq Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hal 73-74
[29] Prof. Dr Rosihon Anwar, M.Ag. Akhlaq Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hal 78-79
[30] Prof. Dr. H. A. Rahman Ritonga, MA. Akhlak Merekat Hubungan Dengan Sesama Manusia, Penerbit Amelia Surabaya, 2005, hal 10-11.
[31] Prof. Dr. H. A. Rahman Ritonga, MA. Akhlak Merekat Hubungan Dengan Sesama Manusia, Penerbit Amelia Surabaya, 2005, hal 11.
[32] Prof. Dr Rosihon Anwar, M.Ag. Akhlaq Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hal 76.
[33] Prof. Dr Rosihon Anwar, M.Ag. Akhlaq Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hal 77-78.
[34] Prof. Dr Rosihon Anwar, M.Ag. Akhlaq Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hal 78.
[35] Prof. Dr Rosihon Anwar, M.Ag. Akhlaq Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hal 79.
[36] Prof. Dr. H. A. Rahman Ritonga, MA. Akhlak Merekat Hubungan Dengan Sesama Manusia, Penerbit Amelia Surabaya, 2005, hal 11.

[37] Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad Al-Ghazaly, Ihya Ulumuddin Jilid 2, Dar Al-Kotob Al-Alamiyah, Baerut. 2012, Hal 447-450.
[38] Hasan Muhammad Ayyub, Tabsithu-l-Aqaaidi-l-Islamiyyah, Dar Annadwah Al-Jadidah, 1983. Hal 287.
[39] Abu Bakar Muhammad Al-Ajra, Akhlak Al-Ulama, Majlis Al-Banjary Li At-Tafaqquh Fi Ad-Din, 1996, Hal 110-112.

Komentar

  1. The Casino Directory | JtmHub
    The septcasino Casino https://deccasino.com/review/merit-casino/ Directory is a complete 출장안마 directory for casino and sportsbook operators in Ireland and Portugal. gri-go.com Jtm's comprehensive directory https://febcasino.com/review/merit-casino/ provides you with more than 150

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah TAFSIR AL-FURQAN (Al-Furqan Tafsir Qur’an) KARYA A. HASSAN

AYAT-AYAT PENJAGA: MANZIL, MUNJIYAT DAN SYIFA